Pengertian Dan Perkembangan Seni Grafis
Seni grafis adalah bagian dari salah satu bidang seni
rupa, yang berfokus atau bergerak pada bidang seni pencetakan gambar atau
tulisan dua dimensi, baik pencetakan dengan teknik manual maupun masinal
(komputasi / digital). Keduanya sama-sama grafis istilahnya, namun dalam
takaran ’seni’ perlu dibahas lebih lanjut. Seni grafis secara umum dapat
digolongkan ke dalam salah satu cabang seni murni, hal ini didasarkan atas maksud
dan tujuan serta fungsi yang dibawa, yaitu untuk memenuhi kepuasan atau untuk tujuan
mengekspresikan diri. Adapun jika tujuan itu sudah bergeser dari tujuan awal
untuk memenuhi kepuasan atau mengekspresikan diri, maka timbul pertanyaan apakah
seni grafis tersebut dapat digolongkan kedalam seni murni atau seni terapan?
Tentu hal ini perlu dikaji lebih lanjut.
Perkembangan dunia percetakan, kini tidak dapat
dipungkiri telah berjalan dengan cepatnya. Meski demikian secara mendasar
teknik-teknik yang dipergunakan sama dengan berbagai teknik yang sudah lama
digunakan seperti relief print, intaglio print, dsb. Hanya saja ada
beberapa aplikasi baru yang dapat digunakan dalam pembuatan seni grafis,
sehingga hasil yang dicapai lebih mudah atau dapat memuaskan. Aplikasi tersebut
berupa pemanfaatan media komputerisasi sebagai sarana men-desain suatu karya
seni, juga untuk sarana mempermudah pencetakan melalui digital printing.
Pemanfaatan media komputerisasi ini merupakan pemicu awal munculnya anggapan bahwa seni grafis mulai bergeser dari fungsi awalnya sebagai seni murni menjadi fungsi seni terapan bersanding dengan seni kriya dan desain. Anggapan pergeseran ini didasarkan pada tujuan pembutan karya itu sendiri, dengan munculnya media komputer maka kemudahan dalam berbagai hal pencapaian kuantitas yang diinginkan semakin menjanjikan, sehingga semakin menggiurkan para seniman grafis (pada mulanya) untuk terjun dalam dunia bisnis / marketing. Selain dikuatkan oleh berbagai kemudahan tersebut pergeseran juga didorong oleh kebutuhan hidup yang semakin pelik penuh persaingan disertai penyediaan peralatan untuk komputerisasi yang tidak murah dan memerlukan modal. Namun dalam hal ini, tidak semuanya teknik grafis dapat dipukul rata dengan komputerisasi secara absolut, ada tiga teknik dari 4 teknik yang tidak dapat menggunakan teknik komputerisasi, yaitu teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar. Adapun cetak sablon dan offset dapat diganti dengan komputerisasi, disamping itu dikarenakan konsep dasar sablon adalah penciptaan karya 2 D tanpa tekstur, dan tanpa degradasi yang detail yang kesemuanya itu dapat dilakukan oleh komputer secara mudah dan hasil yang lebih memuaskan dengan memakai software pendukung seperti corel,adobe,auto cad, dsb.
Pemanfaatan media komputerisasi ini merupakan pemicu awal munculnya anggapan bahwa seni grafis mulai bergeser dari fungsi awalnya sebagai seni murni menjadi fungsi seni terapan bersanding dengan seni kriya dan desain. Anggapan pergeseran ini didasarkan pada tujuan pembutan karya itu sendiri, dengan munculnya media komputer maka kemudahan dalam berbagai hal pencapaian kuantitas yang diinginkan semakin menjanjikan, sehingga semakin menggiurkan para seniman grafis (pada mulanya) untuk terjun dalam dunia bisnis / marketing. Selain dikuatkan oleh berbagai kemudahan tersebut pergeseran juga didorong oleh kebutuhan hidup yang semakin pelik penuh persaingan disertai penyediaan peralatan untuk komputerisasi yang tidak murah dan memerlukan modal. Namun dalam hal ini, tidak semuanya teknik grafis dapat dipukul rata dengan komputerisasi secara absolut, ada tiga teknik dari 4 teknik yang tidak dapat menggunakan teknik komputerisasi, yaitu teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar. Adapun cetak sablon dan offset dapat diganti dengan komputerisasi, disamping itu dikarenakan konsep dasar sablon adalah penciptaan karya 2 D tanpa tekstur, dan tanpa degradasi yang detail yang kesemuanya itu dapat dilakukan oleh komputer secara mudah dan hasil yang lebih memuaskan dengan memakai software pendukung seperti corel,adobe,auto cad, dsb.
Teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar tidak
dapat dipukul rata dengan sistem komputerisasi. Ini karena ketiganya memiliki
ciri khusus yang tidak dapat digantikan fungsinya oleh komputer, karena ada
unsur ’greget’ atau ekspresi individu atau bersifat manusiawi yang hadir dan
mempunyai karakteristik tersendiri, walaupun dapat digantikan maka terlihat sebagai
hasil mesin yang terasa kering. Ciri-ciri khusus yang hadir dalam seni ekspresi
antara lain adalah memiliki unsur tekstur, dan unsur goresan alamiah yang dihasilkan
oleh acuan serta efek warna yang dapat diolah secara khusus oleh seniman grafis
dengan gayanya sendiri tentunya. Selain itu ada ciri khusus yang sifatnya
dilandaskan pada kerumitan dan usaha keras yang dilakukan untuk menghasilkan
karya grafis yang spektakuler. Kerumitan dan usaha keras ini dapat mencangkup
semua jenis teknik sebab kerumitan selalu disandarkan pada hal yang sifatnya
manual dari pada yang otomatis-masinal (komputer).
Guru Besar Seni Grafis dari Institut
Teknologi Bandung (ITB) yakni Prof.
Setiawan Sabana, mengungkapkan: ”Berkembangnya seni rupa, khususnya seni
grafis, tidak independen. Banyak faktor lain yang memengaruhi, terutama
infrastruktur atau teknik dan bahan dasar pembentuk media seni“. Setiawan
menegaskan lagi: ”Seni grafis “berhak” berkembang dan sejajar dengan seni rupa
lainnya. Seni tidak bisa dikotak-kotakkan dalam arus utama tertentu. Janganlah dibatasi
dan dipersoalkan medianya. Yang terpenting adalah isinya. Seni grafis yang
konvensional sekalipun tidak bisa menutup diri dari perubahan zaman.
Kontemporerisasi kini menjadi pilihan. Sebab, sejatinya negara ini memang tidak
punya akar tradisi seni grafis. Kalau kita terus mengacu ke Eropa, kapan kita
akan mengejar”. (kompas, 20 Maret 2007). Sehingga dalam kaitannya dengan media
yang dipakai dalam pengungkapan kreatifitas seni grafis, seharusnya tidak perlu
diperdebatkan, yang utama adalah seni grafis yang meng-Indonesia.
Kajian singkat di atas, adalah sekedar pembahasan yang terkait
dengan muncullah istilah seni murni dan seni terapan dalam grafis. Keduanya
adalah sama-sama lingkup seni, hanya saja karena perbedaan tujuan dan
perkembangan teknologi serta sosial-ekonomi maka istilah tersebut muncul.
Teknologi adalah ikon terpenting yang memunculkan istilah tersebut. Teknologi
adalah ikon modern, juga modernisasi. Semakin canggih teknologi maka semakin
modern, dan itulah modernisasi. Modernisasi adalah sebuah upaya menyesuaikan
kebiasaan dengan konstelasi gaya atau trend
dunia (Jim Supangkat).
Konstelasi dari abad modern pada awalnya didominasi
pemikiran Eropa Barat dan Amerika. Namun dalam era globalisasi, formasi
konstelasi dunia sekarang ditentukan oleh pola perkembangan negara-negara maju.
Pada kenyataannya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi global dalam
genggaman mengakibatkan sebuah penyeragaman dunia.
Seni grafis secara tidak langsung (pada teknik tertentu) juga
mulai menjamah modernisasi sebagai seni grafis modern. Hal ini ditandai dengan
munculnya teknik-teknik kreatif baru sebagaimana Rolf Nesch (1893-1975), yang mendapat pengakuan internasional untuk
teknik grafis logam, dan artis Sámi John
Savio (1902-1938) dengan cetakan kayunya. Stanley Hayter Atelier 17
di Paris, yang berspesialisasi dalam teknik mencetak banyak warna hanya dengan
menggunakan satu pelat. Berbagai teknik baru mulai diperkenalkan pada tahun
1970, termasuk cetakan di atas kain sutra, dan kebangkitan seni sketsa baik
yang mengandung arti kiasan maupun tidak. Tahun 1970 seringkali dianggap
sebagai jaman keemasan seni grafis, Nama yang patut diperhitungkan dalam
beberapa tahun terakhir termasuk Bjørn-Willy
Mortensen (1941-1993), Per Kleiva
(b1933) dan Anders Kjær (1940). (http://adf.ly/178HPM)
Dengan
munculnya seni grafis modern, maka ajang kreatifitas seniman garfis tidak dapat
dibendung karena konsep dasar seni modern adalah ’unsur kreatifitas’ untuk
memunculkan sesuatu yang baru. Sehingga peluang kemunculan seni grafis terapan juga
semakin besar. Hal ini ditandai dengan munculnya omzet digital printing dan sablon yang digelar dalam pasar
komersial. Padahal konsep dasar seni (termasuk seni rupa-seni grafis) terkait
estetika seni itu sendiri adalah terletak pada ’nilai’-nya. Sedang nilai tidak
dapat dikurskan dalam bentuk nominal
secara pasti, karena nilai seni adalah hal yang bersifat abstrak (subjektif)
dan tidak memiliki batasan. Kalaupun karya seni grafis dapat dipasarkan maka
harga yang didapat adalah biaya operasional plus
ongkos seniman atau pencipta, bukan harga dari nilai yang dimiliki karya
tersebut. Selain hal itu terdapat manipulasi nilai karya seni grafis yang
semakin mempertajam munculnya seni grafis terapan, yaitu karya yang disandarkan
pada permintaan pasar bukan pada kepuasan ekspresi pencipta.
Penggolongan Seni Grafis juga berdasarkan teknik. Penggolongan
seni grafis berdasarkan teknik ini dikarenakan perbedaan acuan dan persyaratan
yang harus dimiliki masing-masing teknik. Adapun teknik-teknik tersebut adalah
teknik cetak tinggi (Relief Print),
teknik seni cetak datar (Surface screen),
teknik cetak dalam (intaglio print)
dan tekni cetak saring (silk -screen).
Karya-karya (1,2 & 3) Seni Grafis Agus Mulyadi Utomo
Teknik Seni Cetak Tinggi (Relief Print)
Pengertian
seni cetak tinggi atau relief
print atau cetak timbul adalah salah satu dari
beberapa macam teknik print atau
cetak yang memiliki acuan permukaan yang timbul atau meninggi, dimana berfungsi
sebagai penghantar tinta, baik monokrom
maupun polikrom. Sedang bagian yang
dasar atau permukaan yang tidak timbul merupakan bagian yang tidak akan terkena
tinta atau disebut bagian negatif, sedang bagian yang terkena tinta disebut
bagian positif. Untuk memperoleh wujud
acuan yang timbul tersebut, dapat dikerjakan dengan cara menghilangkan
bagian-bagian yang tidak diperlukan menghantarkan tinta, sehingga tinggal
bagian-bagian yang difungsikan sebagai penghantar warna atau tinta. Menoreh
bagian-bagian yang tidak diperlukan bukanlah satu-satunya cara atau tekhnik
untuk mewujudkan acuan cetak timbul, teknik lain dapat pula diperoleh dengan
menempelkan atau merekatkan bahan-bahan yang akan dipergunakan sebagai
penghantar warna atau tinta cetak. Teknik ini merupakan teknik lain untuk
mewujudkan acuan cetak timbul yang sederhana. Tapi perlu diwaspadai bahwa
penggunaan metode tempel ini memiliki kelemahan pada bagian tempelnya atau kolasenya
jika pengelemannya dan bahan yang digunakan tidak baik. Salah satu sifat cetak
timbul atau cetak tinggi adalah bila acuannya sendiri diamati baik-baik, maka
permukaan acuan akan tampak sebagai permukaan yang berukir atau berelief.
Karena itu cetak tinggi disebut pula sebagai cetak relief atau relief print.
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf di atas bahwa untuk memperoleh acuan dapat diperoleh dengan cara menoreh atau menempel, maka berikut akan dijelaskan beberapa jenis teknik cetak tinggi.
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf di atas bahwa untuk memperoleh acuan dapat diperoleh dengan cara menoreh atau menempel, maka berikut akan dijelaskan beberapa jenis teknik cetak tinggi.
Beberapa Jenis Teknik Cetak Tinggi.
1.
Teknik
Woodcut/ Cukil Kayu
Sejarah singkat
perkembangan teknik woodcut atau
cukil kayu atau relief,
yang sering disebut juga sebagai xilografi (xylography), sebagai teknis grafis paling awal, yang makin lama
makin ditinggalkan, meskipun sebenarnya masih cukup bermanfaat bagi beberapa
kebudayaan, mengingat kelebihan-kelebihan yang bermanfaat bagi
perjuangan-perjuangan pada kondisi tertentu. Teknik cukil kayu ini di China telah
digunakan untuk mencetak gambar dan tulisan sejak abad ke-5. Sedangkan di Eropa teknik ini dikembangkan sekitar tahun 1400-an,
hingga teknik serupa dimassalkan oleh Gutenberg.
Di Jepang cukil kayu yang dikenal sebagai Ukiyo-e,
pernah mengalami masa keemasan di masa periode Edo (1600-1868 Masehi). Cetakan-cetakan tersebut berupa fiksi yang
banyak bersubyekkan dunia Geisha
serta prostitusi yang marak di jaman feodal Jepang saat itu. Cetakan-cetakan
tersebut sangat digandrungi masyarakat klas menengah dan atas saat itu.
Cetakan-cetakan yang halus dirilis dalam ilustrasi buku, kemudian menjadi ikon
seni rupa Jepang saat itu, bahkan Ukiyo-e
merupakan cikal bakal bagi perkembangan komik Jepang yang membanjiri toko-toko
buku dunia saat ini. Namun dengan adanya Restorasi Meiji,
sebagai respon dari tekanan Komodor
Perry bersama Delegasi Amerika dalam Perjanjian
Tanagawa pada tahun 1854 untuk membuka pasar serta peradabannya.
Setelahnya, para interprenur barat
telah memboyong tradisi seni Jepang ke dunia barat terutama ke Paris. Setelah
kedatangan mereka, produk-produk seni budaya termasuk tradisi cukil kayu
membanjiri dunia barat terutama Paris yang menjadi pusat kesenian saat itu.
para pelukis beraliran Impresionist
maupun post-Impresionis beramai-ramai
menggunakan semangat, teknik ataupun efek teknik Ukiyo-e dalam berkarya. Sedangkan di Jepang sendiri perkenalan
teknik cetak yang lebih efisien untuk industri pencetakan modern yang diimport
dari dunia barat telah meredupkan tradisi Ukiyo-e.
Di Eropa banyak pula pekarya atau kriyawan yang menggunakan media ini untuk berkarya serta mengekspresikan pandangan sosial politiknya. seperti Kathe Kolwitz yang dengan lihainya menggambarkan pergolakan politik di masa dan di tempatnya berpijak. Sedangkan di Indonesia sebelum dan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru di bawah komando Jendral bintang lima Soeharto (REPELITA) cukil kayu mulai menjamur sebagai alat untuk memotret realita dan merespon permasalahan sosial hingga mengagitasi (merombak) kesadaran massa untuk berontak dan melawan kezaliman yang digelorakan oleh JAKER (Jaringan Kerja kesenian Rakyat) termasuk kelompok-kelompok yang ada diorbit mereka seperti Komunitas Anak-Anak Sanggar Suka Banjir, Solo, yang telah mengenal alat ini seperti yang terlihat disebuah terbitan ’alternatif Ajang’ sebelum keruntuhan rezim di atas. Perlu disebut, penggunaan media cukil kayu pernah mencapai masa keemasannya oleh Senirupa-ITB, STSRI’ASRI’, dan SSRI-SMSR. Juga ketika media ini diusung oleh Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang berbasiskan mahasiswa-mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia). Karya-karya tinggi estetika yang bertemakan ajakan melawan sisa-sisa orde baru, tema lingkungan hidup dan sosial serta tema kerakyatan lainnya.
Dewasa ini media propaganda dari cukil kayu semakin
ditinggalkan. Tradisi ini hanya tersisa dibeberapa komunitas marjinal seperti
Sanggar Caping, Nurani Senja, Indie Art, JAKER, serta beberapa komunitas
lainnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal yang mendasar. Pertama, sebagai media
berekspresi telah berkembang media-media baru seperti berkembangnya teknis
pencetakan. Pencetakan selebaran, poster maupun media propaganda lainnya
semakin massal, mudah dan murah. Kedua, berkembang pesatnya komputer grafis
mengakibatkan migrasinya sebagian besar pekarya atau kriyawan untuk menggunakan
photoshop, Corel Draw dan 3G lainnya, sebagai ungkapan bahasa
visual.
Namun ketika hak paten didengungkan, termasuk software komputer grafis sepenuhnya
berpaten sebagai konsekuensi dari globalisasi, sehingga berimbas kepada harga
yang mahal kalau tidak berhadapan dengan mekanisme hukum sebagai pembajak,
beberapa pihak penganut faham seni murni mencoba kembali menggunakan kembali
seni cukil kayu yang terlihat orisinal. Termasuk yang dilakukan oleh Galeri
Publik, Decenta (1973), Institute for Global Justice yang
bekerja sama dengan JAKER dan Indie art.
Mereka mengadakan diskusi tentang media ini dan kemudian merancang serta
melaksanakan workshop-workshop cukil
kayu di beberapa komunitas kaum miskin kota dan komunitas buruh dipinggiran
Jakarta yang kemudian dipamerkan. Ternyata sambutan masyarakat begitu antusias,
ketika hasil karya manual dapat diperbanyak secara instan. Tema-temanya pun
beragam, tetapi ternyata banyak dari karya-karya peserta workshop yang kebanyakan pemuda, pekerja seni maupun buruh ini
banyak bicara tentang sistem ekonomi-politik yang ada dikaitkan dengan realitas
sosial yang ada. Dari gambaran kekumuhan di bawah jembatan layang, hingga
badan-badan ekonomi dunia yang samar samar mereka pahami sebagai penyebab
krisis ekonomi yang ada. Jelas sudah rakyat awam membutuhkan media-media
alternatif untuk ‘berbicara’ ketika media massa besar dirasakan kurang
menggambarkan permasalahan sesungguhnya di tingkatan keseharian. Nampaknya
gairah itu menyeruak kembali. (http://adf.ly/178Hrn)
Pengertian dan prosedur teknik woodcut atau relief atau cukil kayu
teknik woodcut adalah teknik cetak tinggi yang menggunakan bahan dasar sebuah papan kayu yang diratakan permukaanya. Jenis kayu dan bentuk kayu yang digunakan tergantung selera penciptanya sendiri. Adapun urutan kerja atau proses kerja pembuatan karya grafis dengan teknik ini adalah sbb:
Pertama, merencanakan desain atau gambar kerja yang merupakan tuangan ide yang unik lagi artistik pada suatu bidang gambar. Rencana atau desain ini harus dibuat terlebih dahulu, sebab tanpa melalui fase ini dapat saja proses pembuatannya nanti akan terhambat atau bahkan akan gagal.
Kedua, memilah gambar mana yang akan dijadikan sebagai penghantar tinta dan mana yang bukan.
Ketiga, memindahkan rencana atau desain tersebut ke permukaan atau bidang papan kayu yang akan dicukil atau ditoreh. Keempat, menoreh atau mencukil bagian yang tidak digunakan untuk menghantarkan tinta (bagian negatif) dengan menggunakan pisau atau alat cukil (wood cut). Teknik mencukil ini hendaknya memperhatikan arah serat kayu, disamping itu kondisi alat cukilnya juga harus tajam. Kelima, setelah pekerjaan menoreh atau mencukil diangap selesai, maka acuan cetak telah terwujud, dengan demikian acuan siap untuk dilumuri warna atau tinta cetak terlebih dahulu.
teknik woodcut adalah teknik cetak tinggi yang menggunakan bahan dasar sebuah papan kayu yang diratakan permukaanya. Jenis kayu dan bentuk kayu yang digunakan tergantung selera penciptanya sendiri. Adapun urutan kerja atau proses kerja pembuatan karya grafis dengan teknik ini adalah sbb:
Pertama, merencanakan desain atau gambar kerja yang merupakan tuangan ide yang unik lagi artistik pada suatu bidang gambar. Rencana atau desain ini harus dibuat terlebih dahulu, sebab tanpa melalui fase ini dapat saja proses pembuatannya nanti akan terhambat atau bahkan akan gagal.
Kedua, memilah gambar mana yang akan dijadikan sebagai penghantar tinta dan mana yang bukan.
Ketiga, memindahkan rencana atau desain tersebut ke permukaan atau bidang papan kayu yang akan dicukil atau ditoreh. Keempat, menoreh atau mencukil bagian yang tidak digunakan untuk menghantarkan tinta (bagian negatif) dengan menggunakan pisau atau alat cukil (wood cut). Teknik mencukil ini hendaknya memperhatikan arah serat kayu, disamping itu kondisi alat cukilnya juga harus tajam. Kelima, setelah pekerjaan menoreh atau mencukil diangap selesai, maka acuan cetak telah terwujud, dengan demikian acuan siap untuk dilumuri warna atau tinta cetak terlebih dahulu.
Pada prinsipnya setiap acuan atau bagian yang positif
akan dipergunakan dalam proses pencetakan hanya untuk satu warna saja, oleh
karena itu bila menghendaki atau ingin membuat karya yang multi-warna atau poli
warna, maka acuan yang dipergunakan untuk menghantarkan warna harus sesuai
dengan jumlah warna yang dikehendaki. Tentunya tanpa menyiapkan atau
merencanakan desain yang lengkap atau rinci akan mengalami kesulitan dalam
mencari ketepatan atau kesempurnaan hasil cetakannya. Dengan demikian untuk
memudahkan dan mencari ketepatan atau kesempurnaan hasil karya, pertama-tama
harus dibuat desain induk yang telah lengkap dengan warna yang dikehendaki, yang
kemudian dibuat separasi gambar kerja. Sehingga untuk setiap warna ditera
terpisah pada bidang bahan acuan yang berlainan.
Seniman perintis ’seni grafis Indonesia’ adalah Mochtar Apin, Baharoedin Marasutan, A.D.
Pirous (1933), Kaboel Suadi, T. Sutanto (1941), Haryadi Suadi (1939), Setiawan Sabana, S. Prinka dan lainnya.
Dimana pertumbuhan seni grafis sesungguhnya lebih diprakarsai oleh perupa,
pelukis, pematung dan kriyawan, dengan mencari alternatif baru menuangkan ekspresi
seni cetak-mencetak atau seni reproduksi. Mochtar
Apin dari Bandung dan Baroedin
Marasutan dari Jakarta yang berlatarbelakang pelukis, membuat sekumpulan
seni cukilan kayu ke beberapa negara sahabat yang mengakui kedaulatan RI. Pada
tahun 1946. Kedua tokoh ini sebagai perintis, serta karyanya dianggap sebagai
momentum bersejarah dan berdirinya program seni grafis di perguruan tinggi dan di
sekolah menengah. Pameran seni grafis pertama yaitu ketika 5 seniman Bandung
seperti Mochtar Apin, AD.Pirous, Kaboel
Suadi, T.Sutanto dan Haryadi Suadi
tahun 1972-an memamerkan karya mereka di Balai Budaya Jakarta, dengan keunikan
bahan dari potongan hardboard bekas
pameran di gedung Pola Jakarta yng digubah menjadi karya seni grafis cukilan
kayu. Disusul oleh munculnya studio RedPoint di Bandung, sebagau usaha
pencarian tingkat lanjut dalam estetika dan teknik cetak. Pameran setengah abad
seni grafis Indonesia tahun 2000 dan pameran seni grafis eksplorasi mediun,
eksplorasi gagasan tahun 2001 mendapat
respon dari pegrafis seluruh Indonesia, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan
Bali. Tahun 2003 diadakan Trinal Seni Grafis melibatkan lebih
banyak pegrafis seluruh Indonesia terutama tambahan dari Palembang, Padang,
Jambi, Medan, Makassar dan lainnya.
Dalam Warta Bentara Budaya, 11 April 2012, Trinale Seni Grafis yang ke-4 'Seni Grafis Indonesia' diselenggarakan.
Penyelenggaraan
Trienale Seni Grafis kali ini memasuki babak yang ke-4. Dari tradisi
kegiatan semacam ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk mencatat
pertumbuhan kualitas dan kuantitas pegrafis secara individu maupun
komunitas. Tujuannya tak berubah sejak pertama kali diselenggarakan pada
2003, yaitu selain berperan sebagai jawaban atas kelangkaan pameran
seni grafis yang melanda dunia seni rupa Indonesia mutakhir, juga
sebagai upaya untuk melakukan pengukuhan terhadap eksistensi seni grafis
Indonesia.
Pertumbuhan seni grafis Indonesia masih sangat muda, bila
dibandingkan dengan tradisi mencetak di China, Jepang dan Eropa yang sudah
tumbuh beberapa abad silam. Perkembangannya pun menuai kendala, dimana
kedudukannya sederajat dengan seni lukis yang lebih populer, sehingga apresiasi
sangat kurang disamping itu pameran seni grafis juga langka.
Karya grafis seniman anak bangsa yang lebih muda dan memakai
teknik woodcut adalah Tisna Sanjaya, dari ITB. Agus M.U. dari ISI Denpasar, Dedok, dll.
Karya Seni Grafis Agus Mulyadi Utomo
AC. Andre
Tanama, lahir di Yogyakarta, 28 Maret 1982
lulusan IKIP Seni Rupa jogja dan ITB Seni Rupa (1979-1986), sekarang Dosen seni
rupa ISI Jogja. Karyanya yang fenomenal adalah “Hegemoni Teknologi”. Karya ini
pertama kali dipamerkan dalam Trienal Seni Grafis Indonesia II yang
diselenggarakan di Bentara Budaya,Yogjakarta, 14-23 September 2006, mendapat
pengakuan dari panitia penyelenggara, A.C. Andre Tanama dinobatkan sebagai
jawara. Secara teknik sebenarnya karya ini menggunakan cukil kayu, namun dalam
finishingnya. AC. Andre Tanama menggunakan teknik cetak digital dan hal inilah
yang sempat menjadi perbincangan di kancah seniman Grafis terkait penggunaan
media komputer dalam seni grafis.
Peralatan cetak tinggi dapat terwujud melalui beberapa
cara yaitu teknik Woodblock, Hardboard, Linocut, dan Collage.
Karena perbedaan teknik itulah, maka alat yang dipergunakan berbeda pula, alat
tersebut antara lain sebagai berikut: Pisau
Cukil, alat ini dipergunakan untuk mencukil bagian dari kayu yang tidak
dipergunakan untuk menghantarkan tinta. Bentuk ujung pisau cukil bervariasi,
yaitu berbentuk lengkung kecil, dan lengkung sedang, berbentuk “v” kecil dan
“v” besar, beerbentuk datar, dan berbentuk serong. Kaca, alat ini digunakan untuk mengaduk atau tempat mengolah tinta.
Alat Kapi atau Palet, alat ini digunakan untuk mengaduk atau mencampur tinta di permukaan kaca. Rol, alat ini terbuat dari karet dengan pegangan kayu ada pula yang besi. Rol karet ini berfungsi untuk menghantarkan tinta dari kaca setelah mengalami fase pengolahan diterapkan ke kayu yang telah ditoreh dengan pisau cukil. Hand-Press, hand-press atau alat tekan adalah alat yang digunakan untuk mencetak acuan kebidang kertas.
Alat Kapi atau Palet, alat ini digunakan untuk mengaduk atau mencampur tinta di permukaan kaca. Rol, alat ini terbuat dari karet dengan pegangan kayu ada pula yang besi. Rol karet ini berfungsi untuk menghantarkan tinta dari kaca setelah mengalami fase pengolahan diterapkan ke kayu yang telah ditoreh dengan pisau cukil. Hand-Press, hand-press atau alat tekan adalah alat yang digunakan untuk mencetak acuan kebidang kertas.
Bahan cetak
tinggi, bahan yang digunakan secara umum adalah Tinta, Afduner atau Tiner, dan
Kertas manila atau sejenisnya baik berwarna maupun tidak. Sedang bahan secara khusus
tergantung teknik yang digunakan, teknik Woodblock
menggunakan bahan kayu, teknik Harboard
menggunakan bahan Hardboard, teknik Linocut menggunakan bahan linolium, teknik Collage menggunakan bahan karton atau bahan lain yang memiliki
sifat-sifat seperti karton.
Pengertian
Teknologi Cetak Rotogravure
Rotogravure secara etimologi terbagi menjadi dua pengertian yaitu roto atau rotern yang berarti berotasi atau berputar, dan gravure yang berarti cukil atau ukir. Sedangkan
secara terminologi, pengertian rotogravure
yaitu salah satu teknologi cetak dari teknik cetak dalam yang menggunakan acuan
cetak berbentuk silinder yang berputar, dimana gambar dan atau tulisan pada
acuan tersebut dibuat dengan cara dicukil ataupun diukir.
Sebagaimana yang dituliskan diatas, teknologi cetak rotogravure merupakan teknologi cetak yang menggunakan prinsip dasar teknik cetak dalam, yaitu pada bidang yang mencetak (image area) letaknya lebih rendah atau dalam dibandingkan dengan bidang yang tidak mencetak (non-image area) pada permukaan acuan cetak.
Teknologi cetak rotogravure merupakan pengembangan dari fotografi dan teknik cetak rotasi yang menggunakan acuan cetak berbentuk silinder. William Henry Fox Talbot berhasil mengembankan film continoustone (model nada penuh) menjadi bentuk film halftone (model nada lengkap) pada tahun 1860 yang digunakan untuk menghasilkan gambar dari proses foto-reproduksi untuk semua teknik cetak. Dari perkembangan film haltone, Auguste Godchaux berhasil menciptakan teknik cetak rotogravure reel-feed dan mendapatkan hak paten pada tahun 1860, kemudian tahun 1940 di proses cetaknya disempurnakan oleh Karl Klic (Klietsch) berkembangsaan jerman dan Samuel Fawcett dari inggris .
Karakteristik Teknologi Cetak Rotogravure:
Teknologi
cetak rotogravure memiliki beberapa
ciri-ciri khusus yang dapat membedakan antara teknologi cetak rotogravure dengan teknologi cetak
lainnya yang dapat dilihat dari dua sisi.
1. Pada karakteristik mesin cetaknya :
a. Acuan cetaknya berbentuk silinder,
b. Pada permukaan silinder cetak, bidang yang mencetak (image area), letaknya lebih dalam
dibandingkan bidang yang tidak mencetak (non-image
area),
c. Raster pada teknologi cetak rotogravure
berfungsi sebagai penahan tinta agar tidak keluar akibat gaya sentrifugal silinder acuan cetak dan sebagai tempat bertumpunya doctor blade,
d. Pada umumnya bahan cetak yang digunakan berbentuk gulungan
atau rol, tetapi dapat pula berupa lembaran yang disesuaikan dengan mesin yang
digunakan,
e. Sistem penintaan yang digunakan umumnya adalah sistem
sirkulasi,
f. Sifat tinta pada Teknologi cetak rotogravure relatif tipis dan encer, dan juga mempunyai daya alir
yang tinggi,
g. Rakel (doctor blade)
membantu penyatuan tinta pada permukaan silinder acuan sehingga tinta
tertinggal pada bidang gambar dan atau tulisan (image area),
h. Silinder acuannya dibuat dengan cara diukir atau dicukil
(gravure),
i. Jenis pewarnaan yang digunakan pada pencetakan rotogravure yaitu cetakan multi-colour dan separasi,
j. Pada permukaan silinder acuan bentuk raster sama dengan besar dan kedalaman yang bervariasi sesuai
model.
2. Pada karakteristik hasil cetaknya :
a. Seluruh permukaan cetaknya memiliki raster pada cetakan gradasi maupun
cetakan blok, dan tebal tipisnya gradasi warna cetakan tergantung pada dalam
dan dangkalnya hasil ukir sumur-sumur raster
pada silinder acuan rotogravure,
b. Pada bagian pinggir cetakan berbentuk gerigi
bila dilihat dengan lup, karena permukaan cetak beraster semua,
c. Pada daerah
cetakan yang bernada penuh atau shadow
terjadi alur-alur seperti mutiara sebagai akibat tinta rotogravure yang encer setelah mengering pada permukaan bahan
cetak.
Kelebihan dan Kekurangan Teknologi Cetak Rotogravure
Kelebihan teknologi cetak rotogravure antara lain :
1. Dapat mencetak diatas hampir semua bahan (board, paper, plastic film, aluminium foil,
dll).
2. Secara umum kecepatannya tinggi 100-150 m/menit.
3. Konsistensi warna lebih stabil. warna lebih cemerlang
karena tintanya solvent base dan
tidak dipengaruhi oleh air.
4. Dapat mencetak bentuk gambar endless termasuk bentuk spiral untuk aplikasi, sebagai label
kaleng.
5. Silinder cetak tahan untuk long run, mencapai 40.000 m tergantung jenis bahan, tinta, rakel, dan mesin cetaknya itu sendiri.
Kekurangan teknologi cetak rotogravure antara lain :
1.
Biaya pre-press tinggi karena harus membuat
silinder. Tidak efisien untuk order-order pendek.
2.
Waktu pre-press lebih
lama dibanding offset. Membuat plate offset 2 jam selesai, sedangkan membuat
satu set silinder (misal 5 warna) memerlukan waktu 15-20 jam.
3. Printing dengan memakai gulungan
rol tidak seakurat cetak offset yang menggunakan lubang sheet. Untuk mengatasi hal ini maka dipakai
pengontrol tegangan (tension control),
pengontrol register (register control)
serta alat pengontrol bagian pinggir pada mesin cetak rotogravure.
Dalam perkembangan sistem pembuatan silider acuan rotogravure terdiri dari :
1. Sistem Etching
(konvensional), yaitu dengan cara:
a. In
Direct Etching, b. Direct
Etching
2. Sistem Electro
Mechanical Engraving (EME), yaitu dengan cara :
a. Klischograph
Laser Beam Engraving, b. Laser Beam Engraving.
Karya-karya (1,2 & 3) Seni Grafis Agus Mulyadi Utomo
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALKAN KRITIK DAN SARAN UNTUK KEMAJUAN BLOG INI