Pengertian Dan Perkembangan Seni Grafis - Great Design

Facebook

Ads Here

Thursday, 10 April 2014

Pengertian Dan Perkembangan Seni Grafis

Pengertian Dan Perkembangan Seni Grafis

Seni grafis adalah bagian dari salah satu bidang seni rupa, yang berfokus atau bergerak pada bidang seni pencetakan gambar atau tulisan dua dimensi, baik pencetakan dengan teknik manual maupun masinal (komputasi / digital). Keduanya sama-sama grafis istilahnya, namun dalam takaran ’seni’ perlu dibahas lebih lanjut. Seni grafis secara umum dapat digolongkan ke dalam salah satu cabang seni murni, hal ini didasarkan atas maksud dan tujuan serta fungsi yang dibawa, yaitu untuk memenuhi kepuasan atau untuk tujuan mengekspresikan diri. Adapun jika tujuan itu sudah bergeser dari tujuan awal untuk memenuhi kepuasan atau mengekspresikan diri, maka timbul pertanyaan apakah seni grafis tersebut dapat digolongkan kedalam seni murni atau seni terapan? Tentu hal ini perlu dikaji lebih lanjut.
Perkembangan dunia percetakan, kini tidak dapat dipungkiri telah berjalan dengan cepatnya. Meski demikian secara mendasar teknik-teknik yang dipergunakan sama dengan berbagai teknik yang sudah lama digunakan seperti relief print, intaglio print, dsb. Hanya saja ada beberapa aplikasi baru yang dapat digunakan dalam pembuatan seni grafis, sehingga hasil yang dicapai lebih mudah atau dapat memuaskan. Aplikasi tersebut berupa pemanfaatan media komputerisasi sebagai sarana men-desain suatu karya seni, juga untuk sarana mempermudah pencetakan melalui digital printing.
Pemanfaatan media komputerisasi ini merupakan pemicu awal munculnya anggapan bahwa seni grafis mulai bergeser dari fungsi awalnya sebagai seni murni menjadi fungsi seni terapan bersanding dengan seni kriya dan desain. Anggapan pergeseran ini didasarkan pada tujuan pembutan karya itu sendiri, dengan munculnya media komputer maka kemudahan dalam berbagai hal pencapaian kuantitas yang diinginkan semakin menjanjikan, sehingga semakin menggiurkan para seniman grafis (pada mulanya) untuk terjun dalam dunia bisnis / marketing. Selain dikuatkan oleh berbagai kemudahan tersebut pergeseran juga didorong oleh kebutuhan hidup yang semakin pelik penuh persaingan disertai penyediaan peralatan untuk komputerisasi yang tidak murah dan memerlukan modal. Namun dalam hal ini, tidak semuanya teknik grafis dapat dipukul rata dengan komputerisasi secara absolut, ada tiga teknik dari 4 teknik yang tidak dapat menggunakan teknik komputerisasi, yaitu teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar. Adapun cetak sablon dan offset dapat diganti dengan komputerisasi, disamping itu dikarenakan konsep dasar sablon adalah penciptaan karya 2 D tanpa tekstur, dan tanpa degradasi yang detail yang kesemuanya itu dapat dilakukan oleh komputer secara mudah dan hasil yang lebih memuaskan dengan memakai software pendukung seperti corel,adobe,auto cad, dsb.
Teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar tidak dapat dipukul rata dengan sistem komputerisasi. Ini karena ketiganya memiliki ciri khusus yang tidak dapat digantikan fungsinya oleh komputer, karena ada unsur ’greget’ atau ekspresi individu atau bersifat manusiawi yang hadir dan mempunyai karakteristik tersendiri, walaupun dapat digantikan maka terlihat sebagai hasil mesin yang terasa kering. Ciri-ciri khusus yang hadir dalam seni ekspresi antara lain adalah memiliki unsur tekstur, dan unsur goresan alamiah yang dihasilkan oleh acuan serta efek warna yang dapat diolah secara khusus oleh seniman grafis dengan gayanya sendiri tentunya. Selain itu ada ciri khusus yang sifatnya dilandaskan pada kerumitan dan usaha keras yang dilakukan untuk menghasilkan karya grafis yang spektakuler. Kerumitan dan usaha keras ini dapat mencangkup semua jenis teknik sebab kerumitan selalu disandarkan pada hal yang sifatnya manual dari pada yang otomatis-masinal (komputer).
Guru Besar Seni Grafis dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yakni Prof. Setiawan Sabana, mengungkapkan: ”Berkembangnya seni rupa, khususnya seni grafis, tidak independen. Banyak faktor lain yang memengaruhi, terutama infrastruktur atau teknik dan bahan dasar pembentuk media seni“. Setiawan menegaskan lagi: ”Seni grafis “berhak” berkembang dan sejajar dengan seni rupa lainnya. Seni tidak bisa dikotak-kotakkan dalam arus utama tertentu. Janganlah dibatasi dan dipersoalkan medianya. Yang terpenting adalah isinya. Seni grafis yang konvensional sekalipun tidak bisa menutup diri dari perubahan zaman. Kontemporerisasi kini menjadi pilihan. Sebab, sejatinya negara ini memang tidak punya akar tradisi seni grafis. Kalau kita terus mengacu ke Eropa, kapan kita akan mengejar”. (kompas, 20 Maret 2007). Sehingga dalam kaitannya dengan media yang dipakai dalam pengungkapan kreatifitas seni grafis, seharusnya tidak perlu diperdebatkan, yang utama adalah seni grafis yang meng-Indonesia.
Kajian singkat di atas, adalah sekedar pembahasan yang terkait dengan muncullah istilah seni murni dan seni terapan dalam grafis. Keduanya adalah sama-sama lingkup seni, hanya saja karena perbedaan tujuan dan perkembangan teknologi serta sosial-ekonomi maka istilah tersebut muncul. Teknologi adalah ikon terpenting yang memunculkan istilah tersebut. Teknologi adalah ikon modern, juga modernisasi. Semakin canggih teknologi maka semakin modern, dan itulah modernisasi. Modernisasi adalah sebuah upaya menyesuaikan kebiasaan dengan konstelasi gaya atau trend dunia (Jim Supangkat).
Konstelasi dari abad modern pada awalnya didominasi pemikiran Eropa Barat dan Amerika. Namun dalam era globalisasi, formasi konstelasi dunia sekarang ditentukan oleh pola perkembangan negara-negara maju. Pada kenyataannya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi global dalam genggaman mengakibatkan sebuah penyeragaman dunia.
Seni grafis secara tidak langsung (pada teknik tertentu) juga mulai menjamah modernisasi sebagai seni grafis modern. Hal ini ditandai dengan munculnya teknik-teknik kreatif baru sebagaimana Rolf Nesch (1893-1975), yang mendapat pengakuan internasional untuk teknik grafis logam, dan artis Sámi John Savio (1902-1938) dengan cetakan kayunya. Stanley Hayter Atelier 17 di Paris, yang berspesialisasi dalam teknik mencetak banyak warna hanya dengan menggunakan satu pelat. Berbagai teknik baru mulai diperkenalkan pada tahun 1970, termasuk cetakan di atas kain sutra, dan kebangkitan seni sketsa baik yang mengandung arti kiasan maupun tidak. Tahun 1970 seringkali dianggap sebagai jaman keemasan seni grafis, Nama yang patut diperhitungkan dalam beberapa tahun terakhir termasuk Bjørn-Willy Mortensen (1941-1993), Per Kleiva (b1933) dan Anders Kjær (1940). (http://adf.ly/178HPM)
            Dengan munculnya seni grafis modern, maka ajang kreatifitas seniman garfis tidak dapat dibendung karena konsep dasar seni modern adalah ’unsur kreatifitas’ untuk memunculkan sesuatu yang baru. Sehingga peluang kemunculan seni grafis terapan juga semakin besar. Hal ini ditandai dengan munculnya omzet digital printing dan sablon yang digelar dalam pasar komersial. Padahal konsep dasar seni (termasuk seni rupa-seni grafis) terkait estetika seni itu sendiri adalah terletak pada ’nilai’-nya. Sedang nilai tidak dapat dikurskan dalam bentuk nominal secara pasti, karena nilai seni adalah hal yang bersifat abstrak (subjektif) dan tidak memiliki batasan. Kalaupun karya seni grafis dapat dipasarkan maka harga yang didapat adalah biaya operasional plus ongkos seniman atau pencipta, bukan harga dari nilai yang dimiliki karya tersebut. Selain hal itu terdapat manipulasi nilai karya seni grafis yang semakin mempertajam munculnya seni grafis terapan, yaitu karya yang disandarkan pada permintaan pasar bukan pada kepuasan ekspresi pencipta.
Penggolongan Seni Grafis juga berdasarkan teknik. Penggolongan seni grafis berdasarkan teknik ini dikarenakan perbedaan acuan dan persyaratan yang harus dimiliki masing-masing teknik. Adapun teknik-teknik tersebut adalah teknik cetak tinggi (Relief Print), teknik seni cetak datar (Surface screen), teknik cetak dalam (intaglio print) dan tekni cetak saring (silk -screen).
Karya-karya (1,2 & 3) Seni Grafis Agus Mulyadi Utomo
Teknik Seni Cetak Tinggi (Relief Print)
Pengertian seni cetak tinggi atau relief print atau cetak timbul adalah salah satu dari beberapa macam teknik print atau cetak yang memiliki acuan permukaan yang timbul atau meninggi, dimana berfungsi sebagai penghantar tinta, baik monokrom maupun polikrom. Sedang bagian yang dasar atau permukaan yang tidak timbul merupakan bagian yang tidak akan terkena tinta atau disebut bagian negatif, sedang bagian yang terkena tinta disebut bagian positif.  Untuk memperoleh wujud acuan yang timbul tersebut, dapat dikerjakan dengan cara menghilangkan bagian-bagian yang tidak diperlukan menghantarkan tinta, sehingga tinggal bagian-bagian yang difungsikan sebagai penghantar warna atau tinta. Menoreh bagian-bagian yang tidak diperlukan bukanlah satu-satunya cara atau tekhnik untuk mewujudkan acuan cetak timbul, teknik lain dapat pula diperoleh dengan menempelkan atau merekatkan bahan-bahan yang akan dipergunakan sebagai penghantar warna atau tinta cetak. Teknik ini merupakan teknik lain untuk mewujudkan acuan cetak timbul yang sederhana. Tapi perlu diwaspadai bahwa penggunaan metode tempel ini memiliki kelemahan pada bagian tempelnya atau kolasenya jika pengelemannya dan bahan yang digunakan tidak baik. Salah satu sifat cetak timbul atau cetak tinggi adalah bila acuannya sendiri diamati baik-baik, maka permukaan acuan akan tampak sebagai permukaan yang berukir atau berelief. Karena itu cetak tinggi disebut pula sebagai cetak relief atau relief print.
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf di atas bahwa untuk memperoleh acuan dapat diperoleh dengan cara menoreh atau menempel, maka berikut akan dijelaskan beberapa jenis teknik cetak tinggi.
Beberapa Jenis Teknik Cetak Tinggi.
1.    Teknik Woodcut/ Cukil Kayu
Sejarah singkat perkembangan teknik woodcut atau cukil kayu atau relief,  yang sering disebut juga sebagai xilografi (xylography), sebagai teknis grafis paling awal, yang makin lama makin ditinggalkan, meskipun sebenarnya masih cukup bermanfaat bagi beberapa kebudayaan, mengingat kelebihan-kelebihan yang bermanfaat bagi perjuangan-perjuangan pada kondisi tertentu. Teknik cukil kayu ini di China telah digunakan untuk mencetak gambar dan tulisan sejak abad ke-5. Sedangkan di Eropa teknik ini dikembangkan sekitar tahun 1400-an, hingga teknik serupa dimassalkan oleh Gutenberg. Di Jepang cukil kayu yang dikenal sebagai Ukiyo-e, pernah mengalami masa keemasan di masa periode Edo (1600-1868 Masehi). Cetakan-cetakan tersebut berupa fiksi yang banyak bersubyekkan dunia Geisha serta prostitusi yang marak di jaman feodal Jepang saat itu. Cetakan-cetakan tersebut sangat digandrungi masyarakat klas menengah dan atas saat itu. Cetakan-cetakan yang halus dirilis dalam ilustrasi buku, kemudian menjadi ikon seni rupa Jepang saat itu, bahkan Ukiyo-e merupakan cikal bakal bagi perkembangan komik Jepang yang membanjiri toko-toko buku dunia saat ini. Namun dengan adanya Restorasi Meiji, sebagai respon dari tekanan Komodor Perry bersama Delegasi Amerika dalam Perjanjian Tanagawa pada tahun 1854 untuk membuka pasar serta peradabannya. Setelahnya, para interprenur barat telah memboyong tradisi seni Jepang ke dunia barat terutama ke Paris. Setelah kedatangan mereka, produk-produk seni budaya termasuk tradisi cukil kayu membanjiri dunia barat terutama Paris yang menjadi pusat kesenian saat itu. para pelukis beraliran Impresionist maupun post-Impresionis beramai-ramai menggunakan semangat, teknik ataupun efek teknik Ukiyo-e dalam berkarya. Sedangkan di Jepang sendiri perkenalan teknik cetak yang lebih efisien untuk industri pencetakan modern yang diimport dari dunia barat telah meredupkan tradisi Ukiyo-e.

           Di Eropa banyak pula pekarya atau kriyawan yang menggunakan media ini untuk berkarya serta mengekspresikan pandangan sosial politiknya. seperti Kathe Kolwitz yang dengan lihainya menggambarkan pergolakan politik di masa dan di tempatnya berpijak. Sedangkan di Indonesia sebelum dan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru di bawah komando Jendral bintang lima Soeharto (REPELITA) cukil kayu mulai menjamur sebagai alat untuk memotret realita dan merespon permasalahan sosial hingga mengagitasi (merombak) kesadaran massa untuk berontak dan melawan kezaliman yang digelorakan oleh JAKER (Jaringan Kerja kesenian Rakyat) termasuk kelompok-kelompok yang ada diorbit mereka seperti Komunitas Anak-Anak Sanggar Suka Banjir, Solo, yang telah mengenal alat ini seperti yang terlihat disebuah terbitan ’alternatif Ajang’ sebelum keruntuhan rezim di atas. Perlu disebut, penggunaan media cukil kayu pernah mencapai masa keemasannya oleh Senirupa-ITB, STSRI’ASRI’, dan SSRI-SMSR.  Juga ketika media ini diusung oleh Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang berbasiskan mahasiswa-mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia). Karya-karya tinggi estetika yang bertemakan ajakan melawan sisa-sisa orde baru, tema lingkungan hidup dan sosial serta tema kerakyatan lainnya.
Dewasa ini media propaganda dari cukil kayu semakin ditinggalkan. Tradisi ini hanya tersisa dibeberapa komunitas marjinal seperti Sanggar Caping, Nurani Senja, Indie Art, JAKER, serta beberapa komunitas lainnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal yang mendasar. Pertama, sebagai media berekspresi telah berkembang media-media baru seperti berkembangnya teknis pencetakan. Pencetakan selebaran, poster maupun media propaganda lainnya semakin massal, mudah dan murah. Kedua, berkembang pesatnya komputer grafis mengakibatkan migrasinya sebagian besar pekarya atau kriyawan untuk menggunakan photoshop, Corel Draw dan 3G lainnya, sebagai ungkapan bahasa visual.
Namun ketika hak paten didengungkan, termasuk software komputer grafis sepenuhnya berpaten sebagai konsekuensi dari globalisasi, sehingga berimbas kepada harga yang mahal kalau tidak berhadapan dengan mekanisme hukum sebagai pembajak, beberapa pihak penganut faham seni murni mencoba kembali menggunakan kembali seni cukil kayu yang terlihat orisinal. Termasuk yang dilakukan oleh Galeri Publik, Decenta (1973), Institute for Global Justice yang bekerja sama dengan JAKER dan Indie art. Mereka mengadakan diskusi tentang media ini dan kemudian merancang serta melaksanakan workshop-workshop cukil kayu di beberapa komunitas kaum miskin kota dan komunitas buruh dipinggiran Jakarta yang kemudian dipamerkan. Ternyata sambutan masyarakat begitu antusias, ketika hasil karya manual dapat diperbanyak secara instan. Tema-temanya pun beragam, tetapi ternyata banyak dari karya-karya peserta workshop yang kebanyakan pemuda, pekerja seni maupun buruh ini banyak bicara tentang sistem ekonomi-politik yang ada dikaitkan dengan realitas sosial yang ada. Dari gambaran kekumuhan di bawah jembatan layang, hingga badan-badan ekonomi dunia yang samar samar mereka pahami sebagai penyebab krisis ekonomi yang ada. Jelas sudah rakyat awam membutuhkan media-media alternatif untuk ‘berbicara’ ketika media massa besar dirasakan kurang menggambarkan permasalahan sesungguhnya di tingkatan keseharian. Nampaknya gairah itu menyeruak kembali. (http://adf.ly/178Hrn)
Pengertian dan prosedur teknik woodcut atau relief atau cukil kayu
teknik woodcut adalah teknik cetak tinggi yang menggunakan bahan dasar sebuah papan kayu yang diratakan permukaanya. Jenis kayu dan bentuk kayu yang digunakan tergantung selera penciptanya sendiri. Adapun urutan kerja atau proses kerja pembuatan karya grafis dengan teknik ini adalah sbb:
Pertama, merencanakan desain atau gambar kerja yang merupakan tuangan ide yang unik lagi artistik pada suatu bidang gambar. Rencana atau desain ini harus dibuat terlebih dahulu, sebab tanpa melalui fase ini dapat saja proses pembuatannya nanti akan terhambat atau bahkan akan gagal.
Kedua, memilah gambar mana yang akan dijadikan sebagai penghantar tinta dan mana yang bukan.
Ketiga, memindahkan rencana atau desain tersebut ke permukaan atau bidang papan kayu yang akan dicukil atau ditoreh. Keempat, menoreh atau mencukil bagian yang tidak digunakan untuk menghantarkan tinta (bagian negatif) dengan menggunakan pisau atau alat cukil (wood cut). Teknik mencukil ini hendaknya memperhatikan arah serat kayu, disamping itu kondisi alat cukilnya juga harus tajam. Kelima, setelah pekerjaan menoreh atau mencukil diangap selesai, maka acuan cetak telah terwujud, dengan demikian acuan siap untuk dilumuri warna atau tinta cetak terlebih dahulu.
Pada prinsipnya setiap acuan atau bagian yang positif akan dipergunakan dalam proses pencetakan hanya untuk satu warna saja, oleh karena itu bila menghendaki atau ingin membuat karya yang multi-warna atau poli warna, maka acuan yang dipergunakan untuk menghantarkan warna harus sesuai dengan jumlah warna yang dikehendaki. Tentunya tanpa menyiapkan atau merencanakan desain yang lengkap atau rinci akan mengalami kesulitan dalam mencari ketepatan atau kesempurnaan hasil cetakannya. Dengan demikian untuk memudahkan dan mencari ketepatan atau kesempurnaan hasil karya, pertama-tama harus dibuat desain induk yang telah lengkap dengan warna yang dikehendaki, yang kemudian dibuat separasi gambar kerja. Sehingga untuk setiap warna ditera terpisah pada bidang bahan acuan yang berlainan.
Seniman perintis ’seni grafis Indonesia’ adalah Mochtar Apin, Baharoedin Marasutan, A.D. Pirous (1933),  Kaboel Suadi, T. Sutanto (1941), Haryadi Suadi (1939), Setiawan Sabana, S. Prinka dan lainnya. Dimana pertumbuhan seni grafis sesungguhnya lebih diprakarsai oleh perupa, pelukis, pematung dan kriyawan, dengan mencari alternatif baru menuangkan ekspresi seni cetak-mencetak atau seni reproduksi. Mochtar Apin dari Bandung dan Baroedin Marasutan dari Jakarta yang berlatarbelakang pelukis, membuat sekumpulan seni cukilan kayu ke beberapa negara sahabat yang mengakui kedaulatan RI. Pada tahun 1946. Kedua tokoh ini sebagai perintis, serta karyanya dianggap sebagai momentum bersejarah dan berdirinya program seni grafis di perguruan tinggi dan di sekolah menengah. Pameran seni grafis pertama yaitu ketika 5 seniman Bandung seperti Mochtar Apin, AD.Pirous, Kaboel Suadi, T.Sutanto dan Haryadi Suadi tahun 1972-an memamerkan karya mereka di Balai Budaya Jakarta, dengan keunikan bahan dari potongan hardboard bekas pameran di gedung Pola Jakarta yng digubah menjadi karya seni grafis cukilan kayu. Disusul oleh munculnya studio RedPoint di Bandung, sebagau usaha pencarian tingkat lanjut dalam estetika dan teknik cetak. Pameran setengah abad seni grafis Indonesia tahun 2000 dan pameran seni grafis eksplorasi mediun, eksplorasi gagasan  tahun 2001 mendapat respon dari pegrafis seluruh Indonesia, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali.  Tahun 2003  diadakan Trinal Seni Grafis melibatkan lebih banyak pegrafis seluruh Indonesia terutama tambahan dari Palembang, Padang, Jambi, Medan, Makassar dan lainnya.

Dalam Warta Bentara Budaya, 11 April 2012, Trinale Seni Grafis yang ke-4 'Seni Grafis Indonesia' diselenggarakan.

Photo of Trienale Seni Grafis 4  “Seni Grafis Indonesia”
Penyelenggaraan Trienale Seni Grafis kali ini memasuki babak yang ke-4. Dari tradisi kegiatan semacam ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk mencatat pertumbuhan kualitas dan kuantitas pegrafis secara individu maupun komunitas. Tujuannya tak berubah sejak pertama kali diselenggarakan pada 2003, yaitu selain berperan sebagai jawaban atas kelangkaan pameran seni grafis yang melanda dunia seni rupa Indonesia mutakhir, juga sebagai upaya untuk melakukan pengukuhan terhadap eksistensi seni grafis Indonesia.
Pertumbuhan seni grafis Indonesia masih sangat muda, bila dibandingkan dengan tradisi mencetak di China, Jepang dan Eropa yang sudah tumbuh beberapa abad silam. Perkembangannya pun menuai kendala, dimana kedudukannya sederajat dengan seni lukis yang lebih populer, sehingga apresiasi sangat kurang disamping itu pameran seni grafis juga langka.
Karya grafis seniman anak bangsa yang lebih muda dan memakai teknik woodcut adalah Tisna Sanjaya, dari ITB. Agus M.U. dari ISI Denpasar, Dedok, dll. 
Karya Seni Grafis Agus Mulyadi Utomo
AC. Andre Tanama, lahir di Yogyakarta, 28 Maret 1982 lulusan IKIP Seni Rupa jogja dan ITB Seni Rupa (1979-1986), sekarang Dosen seni rupa ISI Jogja. Karyanya yang fenomenal adalah “Hegemoni Teknologi”. Karya ini pertama kali dipamerkan dalam Trienal Seni Grafis Indonesia II yang diselenggarakan di Bentara Budaya,Yogjakarta, 14-23 September 2006, mendapat pengakuan dari panitia penyelenggara, A.C. Andre Tanama dinobatkan sebagai jawara. Secara teknik sebenarnya karya ini menggunakan cukil kayu, namun dalam finishingnya. AC. Andre Tanama menggunakan teknik cetak digital dan hal inilah yang sempat menjadi perbincangan di kancah seniman Grafis terkait penggunaan media komputer dalam seni grafis.
Peralatan cetak tinggi dapat terwujud melalui beberapa cara yaitu teknik Woodblock, Hardboard, Linocut, dan Collage. Karena perbedaan teknik itulah, maka alat yang dipergunakan berbeda pula, alat tersebut antara lain sebagai berikut: Pisau Cukil, alat ini dipergunakan untuk mencukil bagian dari kayu yang tidak dipergunakan untuk menghantarkan tinta. Bentuk ujung pisau cukil bervariasi, yaitu berbentuk lengkung kecil, dan lengkung sedang, berbentuk “v” kecil dan “v” besar, beerbentuk datar, dan berbentuk serong. Kaca, alat ini digunakan untuk mengaduk atau tempat mengolah tinta.
Alat Kapi atau Palet, alat ini digunakan untuk mengaduk atau mencampur tinta di permukaan kaca. Rol, alat ini terbuat dari karet dengan pegangan kayu ada pula yang besi. Rol karet ini berfungsi untuk menghantarkan tinta dari kaca setelah mengalami fase pengolahan diterapkan ke kayu yang telah ditoreh dengan pisau cukil.
Hand-Press, hand-press atau alat tekan adalah alat yang digunakan untuk mencetak acuan kebidang kertas.
Bahan cetak tinggi, bahan yang digunakan secara umum adalah Tinta, Afduner atau Tiner, dan Kertas manila atau sejenisnya baik berwarna maupun tidak. Sedang bahan secara khusus tergantung teknik yang digunakan, teknik Woodblock menggunakan bahan kayu, teknik Harboard menggunakan bahan Hardboard, teknik Linocut menggunakan bahan linolium, teknik Collage menggunakan bahan karton atau bahan lain yang memiliki sifat-sifat seperti karton.
Pengertian Teknologi Cetak Rotogravure
            Rotogravure secara etimologi terbagi menjadi dua pengertian yaitu roto atau rotern yang berarti berotasi atau berputar, dan gravure yang berarti cukil atau ukir. Sedangkan secara terminologi, pengertian rotogravure yaitu salah satu teknologi cetak dari teknik cetak dalam yang menggunakan acuan cetak berbentuk silinder yang berputar, dimana gambar dan atau tulisan pada acuan tersebut dibuat dengan cara dicukil ataupun diukir.

             Sebagaimana yang dituliskan diatas, teknologi cetak rotogravure merupakan teknologi cetak yang menggunakan prinsip dasar teknik cetak dalam, yaitu pada bidang yang mencetak (image area) letaknya lebih rendah atau dalam dibandingkan dengan bidang yang tidak mencetak (non-image area) pada permukaan acuan cetak.

             Teknologi cetak rotogravure merupakan pengembangan dari fotografi dan teknik cetak rotasi yang menggunakan acuan cetak berbentuk silinder. William Henry Fox Talbot berhasil mengembankan film continoustone (model nada penuh) menjadi bentuk film halftone (model nada lengkap) pada tahun 1860 yang digunakan untuk menghasilkan gambar dari proses foto-reproduksi untuk semua teknik cetak. Dari perkembangan film haltone, Auguste Godchaux berhasil menciptakan teknik cetak rotogravure reel-feed dan mendapatkan hak paten pada tahun 1860, kemudian tahun 1940 di proses cetaknya disempurnakan oleh Karl Klic (Klietsch) berkembangsaan jerman dan Samuel Fawcett dari inggris . 

Karakteristik Teknologi Cetak Rotogravure:
            Teknologi cetak rotogravure memiliki beberapa ciri-ciri khusus yang dapat membedakan antara teknologi cetak rotogravure dengan teknologi cetak lainnya yang dapat dilihat dari dua sisi.

1. Pada karakteristik mesin cetaknya :
a.    Acuan cetaknya berbentuk silinder,
b.    Pada permukaan silinder cetak, bidang yang mencetak (image area), letaknya lebih dalam dibandingkan bidang yang tidak mencetak (non-image area),
c.    Raster pada teknologi cetak rotogravure berfungsi sebagai penahan tinta agar tidak keluar akibat gaya sentrifugal silinder acuan cetak dan sebagai tempat bertumpunya doctor blade,
d.    Pada umumnya bahan cetak yang digunakan berbentuk gulungan atau rol, tetapi dapat pula berupa lembaran yang disesuaikan dengan mesin yang digunakan,
e.    Sistem penintaan yang digunakan umumnya adalah sistem sirkulasi,
f.     Sifat tinta pada Teknologi cetak rotogravure relatif tipis dan encer, dan juga mempunyai daya alir yang tinggi,
g.    Rakel (doctor blade) membantu penyatuan tinta pada permukaan silinder acuan sehingga tinta tertinggal pada bidang gambar dan atau tulisan (image area),
h.    Silinder acuannya dibuat dengan cara diukir atau dicukil (gravure),
i.      Jenis pewarnaan yang digunakan pada pencetakan rotogravure yaitu cetakan multi-colour dan separasi,
j.      Pada permukaan silinder acuan bentuk raster sama dengan besar dan kedalaman yang bervariasi sesuai model.
2.  Pada karakteristik hasil cetaknya : 
a.   Seluruh permukaan cetaknya memiliki raster pada cetakan gradasi maupun cetakan blok, dan tebal tipisnya gradasi warna cetakan tergantung pada dalam dan dangkalnya hasil ukir sumur-sumur raster pada silinder acuan rotogravure,
b.  Pada bagian pinggir cetakan berbentuk gerigi bila dilihat dengan lup, karena permukaan cetak beraster semua,
c.   Pada daerah cetakan yang bernada penuh atau shadow terjadi alur-alur seperti mutiara sebagai akibat tinta rotogravure yang encer setelah mengering pada permukaan bahan cetak.

Kelebihan dan Kekurangan Teknologi Cetak Rotogravure
Kelebihan teknologi cetak rotogravure antara lain : 
1.    Dapat mencetak diatas hampir semua bahan (board, paper, plastic film, aluminium foil, dll).
2.    Secara umum kecepatannya tinggi 100-150 m/menit.
3.    Konsistensi warna lebih stabil. warna lebih cemerlang karena tintanya solvent base dan tidak dipengaruhi oleh air.
4.    Dapat mencetak bentuk gambar endless termasuk bentuk spiral untuk aplikasi, sebagai label kaleng.
5.    Silinder cetak tahan untuk long run, mencapai 40.000 m tergantung jenis bahan, tinta, rakel, dan mesin cetaknya  itu sendiri.

Kekurangan teknologi cetak rotogravure antara lain : 
1.    Biaya pre-press tinggi karena harus membuat silinder. Tidak efisien untuk order-order pendek.
2.    Waktu pre-press lebih lama dibanding offset. Membuat plate offset 2 jam selesai, sedangkan membuat satu set silinder (misal 5 warna) memerlukan waktu 15-20 jam.
3.    Printing dengan memakai gulungan rol tidak seakurat cetak offset yang menggunakan lubang sheet.  Untuk mengatasi hal ini maka dipakai pengontrol tegangan (tension control), pengontrol register (register control) serta alat pengontrol bagian pinggir pada mesin cetak rotogravure.

Dalam perkembangan sistem pembuatan silider acuan rotogravure terdiri dari :
1.    Sistem Etching (konvensional), yaitu dengan cara:
a. In Direct Etching,    b. Direct Etching
2.    Sistem Electro Mechanical Engraving (EME), yaitu dengan cara :
a. Klischograph Laser Beam Engraving,   b. Laser Beam Engraving.

Karya-karya (1,2 & 3) Seni Grafis Agus Mulyadi Utomo

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALKAN KRITIK DAN SARAN UNTUK KEMAJUAN BLOG INI